Intoleransi dan Kesadaran Ber-Pancasila

Oleh: Wasid Mansyur
Akademisi UIN Sunan Ampel Surabaya,
Aktivis Kaukus Penulis Aliansi Kebangsaan


Beberapa minggu terakhir, bahkan hingga kini jelang akhir tahun, nuansa kehidupan berbangsa dan bernegara diresahkan dengan menguatnya sentimen keagamaan hingga sentimen anti etnis. Sentimen-sentimen ini sangat nyaring disuarakan, apalagi melalui media sosial, oleh kelompok-kelompok tertentu hingga pada batas yang sangat membabi buta dan menafikan bahwa ia hidup dalam ruang kemajemukan berbangsa.
Atas nama Islam, mereka selalu merasa bahwa tindakannya benar dan satu-satunya kebenaran. Gaya pengerahan massa untuk memastikan sebagai kebenaran tunggal adalah model baru bagaimana tafsir lain harus mengikutinya, untuk tidak mengatakan yang lain ditolak. Tidak ada ruang dialog yang mencerdaskan. Lebih parah lagi, tindakan sweeping --dengan membawa atribut tertentu-- selalu menjadi pilihan alternatif agar yang lain mengikuti cara pandangnya. Benarkah ini tindakan Islami, ataukah hanya penegasan eksistensi kelompok tertentu.
Pernyataan di atas penting, bila dikaitkan dengan kemajemukan di negeri ini. Kita harus sadar dengan mata batin terdalam, bahwa sebagai bentuk konsekwensi dari kultur majemuk, tidak ada langkah lain kecuali perlu adanya penegasan sikap toleransi terhadap yang berbeda, yakni bagaimana mayoritas menghormati dan menghargai minoritas, lebih dari itu sikap minoritas harus bertindak sama –bahkan lebih bertoleransi—kepada mayoritas. Dan Toleransi ini adalah bentuk pembumian praktik kesadaran berteologi saling mengenal dalam perbedaan (lita’arafu) sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur’an, al-Hujurat, 13.  
Pada praktik kebangsaan, sebenarnya para pendiri ini telah memberikan contoh teladaan terbaik bagaimana meramu perbedaan suku, agama dan ras hingga tidak berujung pada konflik berkepanjangan. Salah satunya adalah mereka berpikir pada hal yang lebih besar untuk NKRI, dari pada “ngotot” bertahan pada serpian-serpian identitas agama dan kelompok yang tidak pernah berujung.
Maksudnya, biarkan keyakinan beragama dan identitas tertentu lainnya dimiliki setiap individu. Tapi, dalam ruang sosial kebangsaan, semua harus menjaga NKRI  sebab darinya kekuatan persatuan bangsa ini terbentuk. Wujud dari ide besar para pendiri bangsa ini mampu melahirkan Pancasila, sebagai ideologi berbangsa dan bernegara. Karenanya, merawat kemajemukan ini adalah tugas suci berbangsa dan beragama, mengingat prinsip-prinsip nilai luhur Pancasila sangat bersesuaian dengan substansi luhur etika Islam, misalnya prinsip berketuhanan, berkeadilan, persatuan dan lain-lain.

Kesadaran Ber-Pancasila
Maraknya intoleransi, sekali lagi, harus menjadi perhatian serius semua pihak. Tidak bisa bertindak sendiri-sendiri, semua harus bergerak dan mengembalikan tindakan itu kepada kesadaran ber-Pancasila sebagai bingkai ideologis dalam semua lini kehidupan. Pasalnya, pembiaran terhadap tindakan ini lambat laun akan menjadi pemicu bagi munculnya rasa kebencian hingga konflik antar umat yang menyebabkan disintegrasi.
Maka dalam rangka merawat kesadaran ber-Pancasila, pertama butuh kekuatan kultural yang senantiasa konsisten dan tidak pernah lelah mengembangkan prinsip-prinsip toleran dalam kemajemukan umat. Agamawan, misalnya, harus menjadi garda terdepan dalam melawan segala bentuk ujaran kebencian yang menyulut potensi konflik, apalagi melalui media sosial. Agamawan adalah panutan umat. Karenanya, umat mudah tersulut kebencian, bila agamawan yang ditokohkan senang mempraktikkan ujaran kebencian.
Sementara itu, umat harus sering melakukan klarifikasi atau tabayyun terhadap praktik dan ujaran-ujaran yang dipandang memiliki potensi kebencian, alih-alih bertentangan dengan nilai-nilai etik Islam damai. Tabayyun ini penting agar tidak mudah terpengaruh hingga terjebak pada sikap fanatik buta. Islam mengajarkan harmoni, bukan kebencian dan pertengkaran. Pancasila bukan sekedar karya kelompok nasionalis, tapi juga ada keterlibatan pemuka agama (baca: Islam). Maka, ber-Pancasila, juga ber-Islam. Sekalipun, Islam bukan Pancasila.
  Kedua, para aparatur negara, khususnya kepolisian, harus menindak secara tegas kepada kelompok apapun yang dipandang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Tidak boleh lengah dan lemah dalam menyikapi kelompok ini sebab kuatnya mereka akan menjadi bom waktu bagi disintegrasi bangsa, setidaknya setelah adanya sentimen kebencian dan konflik.
Kehadiran Pancasila sebagai ideologi bangsa adalah pilihan kreatif, untuk tidak mengatakan harga mati, dalam rangka menjaga kemajemukan agar terus langgeng sebagai karakter bangsa. Dalam beragama, biarkan umat meyakini agamanya sendiri paling benar. Tapi, berkeyakinan itu tetap saja, secara sosial, harus mengedepankan harmoni dengan tidak memaksakan keyakinannya kepada yang berbeda, la ikrah fi al-din. Dari sini, maka perlu mengembangkan cara berdakwah dengan lembut dan santun, bukan menakut-nakuti.
Ber-Pancasila membutuhkan energi yang konsisten dari semua elemen bangsa. Gempuran ideologi transnasional dari Timur maupun Barat, harusnya terus kita pelajari secara kritis, tidak asal manut. Sulit dibendung masuknya, terlebih dari media sosial, tapi kekuatan batin ber-Pancasila akan mampu memberikan daya tangkal yang ampuh, setidaknya menyadarkan kaitan maslahah dan mafsadah dari hadirnya ideologi transnasional bagi kelanggengan bangsa ini. 
Pada intinya, harus terus sadar dan konsisten, kita hidup di negeri damai dan tenang dalam perbedaan. Betapa perbedaan di beberapa negara konon selalu menjadi pemicu konflik, akibat tidak ada ikatan batin antar umat, misalnya di Timur Tengah. Akhirnya, dalam rangka menjaga kedamaian dan ikatan batin terjaga, kita berharap kepada NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi besar Islam untuk terus memberikan teladan serta bahu membahu membangun kebersamaan dalam konteks mempraktikkan keberislaman yang toleran di satu sisi dan kebangsaan yang berkeadilan di sisi yang berbeda. Semoga.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.