Belajar Harmoni Kepada Pak Pulubg

Seperti biasa jelang Natal dan Tahun baru berseliweran anjuran, ajakan bahkan fatwa-fatwa  soal boleh tidaknya mengucapkan selamat kepada yang merayakan. Fenomena ini makin ramai di Medsos sebab semua pihak ikut terlibat, termasuk mereka yang kapasitas keilmuan belum mumpuni. Hanya berbekal fanatisme buta, mengabaikan tradisi ilmiah dan ruang diskusi kepada yang berbeda, apalagi Tabayun.

Lebih parah lagi, musim politik 2019 ikut memperparah keadaan dengan hadirnya individu-individu yang sering menyeret isu keagamaan untuk menyinggung pihak lain yang beda pilihan. Editan meme yang tidak faktual atau kabar hoax sengaja dishare _tanpa ada rasa dosa pada sesama_ agar suasana makin ramai dan rumit, yang ujung-ujungnya pilihan politik 2019.

Mengingat pesan Allah Yarham KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Yang Lebih Penting dari Politik adalah Kemanusiaan. Soal kemanusiaan adalah soal menghargai dan menghormati kepada sesama, sesama Muslim, sesama anak bangsa dan sesama manusia. Dan saatnya kecerdasan akal budi menjadi jalan agar kita dapat bertindak Manusiawi, bukan Hewani.

_Harmoni Pak Pulung_

Penulis belum tahu nama lengkapnya pak Pulung. Yang pasti nama itu diambil dari baju yang dipakai sebab ia adalah salah satu anggota polisi. Sebenarnya biasa-biasa saja seperti polisi yang lain, ketika rutin menjaga gereja jelang natal dan tahun baru atas panggilan tugas negara.

Tapi, setidaknya ada dua yang menarik dari pak Pulung, polisi Muslim yang ikut menjaga Gereja. Pertama, pak Pulung menyadari tugas menjaga keamanan harus dilakukan secara tulus kepada siapapun. Menyadari hal itu ia tidak merasa aneh sekalipun berbeda agama. Yang terpatri adalah tugas negara dan kewajiban menjaga harmoni plus keamanan.
Betapapun, perbedaan tidak lantas kita menutup pergaulan (mu'asyarah) dengan yang lain, terlebih pada mereka yang lain agama. Yang pasti harmoni dan rasa aman yang dinikmati orang lain akan memberikan dampak kebahagiaan bagi semua, tanpa terkecuali.

Kedua, sebagai Muslim, pak Pulung mampu menjaga keislamannya dengan baik. Di tengah rutinitas menjaga Gereja, ia tetap menjalankan sholat berjama'ah secara rutin di Masjid terdekat di area Wisma Tropodo, Masjid Sunan Ampel.

Sebenarnya biasa-biasa saja, tapi pelajaran pak Pulung menarik dan meyakinkan kita semua betapa keyakinan beragama sangat personal dan tidak bisa dipaksakan (la ikraha fi al-din). Ia menjadi Muslim sejati dan tetap menjaga Gereja. Ada perbedaan akidah, tapi tetap harmoni dalam praktik keagamaannya masing-masing.

Pak Pulung, sekali lagi mengajarkan kita agar terus menjaga harmoni dengan siapapun sesama anak bangsa, sambil tetap konsisten pada praktik keagamaan yang semestinya dilakukan sebagai penguat kesalehan, misalnya menjaga rutinitas sholat berjama'ah.

Akhirnya, pak Pak Pulung layak dicontoh. Tetap menjaga gereja agar aman demi tugas Negara sambil tetap merawat pembuktian sebagai Muslim yang baik dengan tetap menjaga sholat berjama'ah di Masjid. Ini sulit terjadi, kecuali bagi mereka yang benar-benar telah tumbuh harmoni dalam dirinya sendiri. Padahal ini bagian dari wa'aamilush sholihat (orang-orang yang beramal sholeh), bagian dari tanda orang yang tidak rugi hidupnya.

Semoga kita bisa belajar dari Pak Pulung sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Biarkan pilihan politik berbeda, tapi kita tetep gembira dalam Harmoni.

Tulisan dirancang saat berteduh di jalan Gadung Surabaya.

*Al-Faqir, Ibn Mansyur*
27 Desember 2018

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.